Senin, 31 Oktober 2011

Kuku dan Batu



Ada batu 

Ada kuku

Batu kaku

Kuku menyentil batu





Saat Malam



Terjun kedunia malam

Dipelototi  angan dan lampu jalan

Aku manusia

Memiliki hasrat

Dan takut gelap

Saat pohon-pohon tinggi menjuntai

Angin malam menerpa badan

Kurus

Lapar meradang

Manusia diujung belokan

Melambaikan tangan

Dibelakangnya

Gemerlap lampu bercahaya

Menyinari bergantian

Hati berkata

belok jangan?

Tuhan menampar

Bulan masih bersinar

Mentari pagi menanti

 Bersama masa depan gemilang







Minggu, 30 Oktober 2011

Lelaki Impian Itu Bukan Ka Restu




‘Nina’ begitu orang-orang akrab memanggil gadis yang baru beranjak remaja itu. Nina berdiri menghadap cermin dengan tampilan yang baru. Jilbab merah ati  bersama pakaian muslim membalut tubuh mungilnya. Meninggalkan rok mini dan kemeja putih yang sering dilinting lengannya.

Mulai hari ini katanya dalam hati. Entah dengan alasan apa, namun yang ia tau Fajar senang dengan wanita muslimah. Nina sangat menyadari bahwa niatnya ini tidak setulus hati. Tidak lain hanya untuk membuat terpesona laki-laki yang telah ia kagumi selama ini.
 Ya, Fajar namanya. Teman SMP sekaligus teman kecilnya. Sekarang Nina duduk diSMA yang sama dengan Fajar. Sejak kapan perasaan itu muncul, ia sendiri tidak pernah tau tepatnya, namun yang pasti...bukankah Tuhan begitu baik, mendengarkan semua do’a Nina untuk selalu bersama Fajar?


 Telah lama Nina menunggu, akhirnya Fajar datang juga.
Mengendarai motor yang mulai kusam, namun pengendaranya tetap terlihat cool .
“Nin! maaf telat!” 
“kalau jadinya seperti, kamu tidak perlu repot-repot ingin menjemputku! Sejak dulu aku bisa pulang sendiri.” Jawabnya agak kesal.
Kurang lebih sudah satu jam Nina menunggu, didepan gerbang bertulis English Institute.
Namun tidak dapat ia pungkiri bahwa sesunggunya ia sangat bersyukur.
berkah yang begitu besar buatnya, mengenal Fajar lebih dari sekadar teman.
Meski kesal, kedatangan Fajar tidak hanya menyejukkan hatinya tetapi juga mencerahkan hari yang semula kusam bersamaan langit yang semakin gelap.
Spontan Nina tersenyum lebar saat...“nina, kamu pake jilbab?” tanya Fajar heran. Sepintas gadis yang sedang “salting” itu bisa melihat pancaran senyum dibibir Fajar.
“iya, Gimana, cantik kan?” jawab Nina sambil balik bertanya. Dan berharap Fajar tidak mampu membaca raut wajah yang memerah dan malu-malu itu.
“lebih manis.” Jawab Fajar singkat.

Selama perjalanan ia bergelut dalam hati. Mungkin ia bukanlah wanita dambaan Fajar. Tentu saja! Bahkan jilbab yang kini ia kenakan, tidak semata-mata untuk menutup aurat tetapi juga sarana untuk membuat seseorang terkesan.
Dosa? Tidak barokah? Mungkin ‘iya’.
Tapi jika gadis hitam manis itu pikir-pikir, toh tidak ada salahnya. Dengan niat apapun, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kenapa tidak?
Ah aku tidak ingin memikirkannya lagi. Spontan perkataannya dalam hati membuyarkan semua pikiran diotaknya yang mulai kelelahan.

***

Hari ini Nina bangun terlalu pagi. Hari dimana ia akan memulai aktivitas yang baru, kawan-kawan baru, cerita baru-saat ia memutuskan untuk menunda kuliahnya hingga tahun depan dan melanjutkan kursus inggrisnya yang sempat tertunda.

Tak apalah bangun lebih cepat dari yang lain itu punya kebanggan tersendiri, menurutnya. Tidak seperti biasanya, kali ini ia masih bisa mengingat mimpi saat tidur semalam. Hhh Menyenangkan sekali.
Banyak orang. Namun ia sendiri tidak ingat siapa mereka.

Kami semua seperti tinggal disebuah rumah. Tidak terlalu mewah, tapi cukup besar dan unik.
Aku melihat banyak tangga disana dengan bentuk yang berbeda beda.
Sangat ramai. Ada yang lari-lari, sibuk dengan buku, aku sendiri hanya berjalan santai menaiki tangga yang berwarna kuning terang. oya aku ditemani seorang wanita muda, aku yakin mengenalnya baik saat itu. ia seperti ingin menunjukkan sesuatu, mungkin aku masih baru. Sayangnya setelah itu pandanganku kabur, dan entah apa yang terjadi selanjutnya.


Setelah bangun dan bengong sejenak, Nina tersentak lalu mulai mengecek handphone. Dilayarnya tertulis ‘4 new messages’ . Tiga pesan dari pacarnya (Fajar) dan satu dari seorang sahabat. 
Sepertinya tadi malam aku tidur terlalu cepat” katanya.
Atau justru mereka yang terlalu larut untuk mengirim pesan. Sangkalnya dalam hati.

Tanpa pikir panjang, Nina langsung membalas pesan mereka satu persatu.
Pengiriman pesan gagalmembuatnya sangat kesal!
Dini hari begini mana ada teman yang mau diutangi pulsa?


03.15-dini hari

Sulit rasanya untuk kembali memejamkan mata. Sambil menunggu adzan subuh yang masih jauh, Nina memutuskan untuk membuka sebuah ‘akun’-milik fajar.  

Sungguh hatinya seperti tersayat kala ia memandang foto kekasihnya (Fajar) bersama seorang wanita, yang sudah dipastikan itu bukan dirinya.
Fajar yang alim-sulit dipercaya. Bahkan Nina tidak memiliki satu fotopun bersamanya. Ia masih ingat dengan seksama bagaimana Fajar membuat Nina terkesima oleh perkataannya,  saat Nina meminta foto berdua “Nin, aku malu foto berdua sama perempuan”.


Namun, apa yang ia dapati kali ini, benar-benar membuat hatinya terbakar cemburu.
Apakah dunia Fajar yang baru-kampus dapat merubahnya sebegitu cepat?

***

‘Nin, sekarang jadi kan
mengantar aku ke toko buku?
Nanti plg kamu les, aku jemput ya.
Aku tunggu diseberang jalan. Oke??

From Midly 085724323339’

Setelah bubaran, aku lekas keluar kelas. Tak ingin rasanya membuat seorang sahabat kesal menunggu. “Nina mau kemana? Ko buru-buru?”
Ternyata seorang kaka kelas memperhatikanku, karena biasanya aku menjadi “kuncen” selalu pulang terakhir karena asyik ngobrol dengan teman-teman.
“iya ka Nina punya janji sama teman SMA!”
“teman apa temen?” ka Restu tertawa menggodaku.
“teman! Tuh orangnya..”
Ka Restu tercengang. Kiranya aku dijemput oleh seorang laki-laki atau sebut saja pacar.
“perempuan?”
“iya, teman SMA. Masih sahabat juga sih.. namanya Midly.cantik ka! Mau dikenalin?”
Nina melambaikan tangan pada Midly. Dengan bahasa tubuh seperti itu sudah mewakili perkataan “tunngu sebentar” atau “aku sudah melihatmu”.
Ka Restu ikut tertawa.
“boleh juga..” katanya. Padahal maksud Nina tidak lain hanyalah candaan. Seperti bagaimana keseharian mereka dalam kelas. Saling mencemooh atau melempar kata-kata konyol adalah hal biasa. Dan baru kali ini ia mendapati Ka Restu yang terlihat serius.

Mereka berjalan menuju arah Midly. Nina tau Midly heran saat itu. mengapa Nina membawa pengawal? Ya. jika dilihat dari postur tubuh dan wajahnya yang mirip-mirip Taylor Lautner, Ka Restu cocok disebut pengawal atau bodyguard.

“hai Mid!  Ini Ka Restu, mau.. kenalan.” Sambil tersenyum lebar Nina menaik-turunkan alis. Midly hanya memandang heran pada sahabatnya itu.
“Restu..” kali ini senyum ramah Ka Restu menyapa Midly, bersama tangan yang disodorkan kearahnya.
“Midly” Midly membalas senyuman Ka Restu, tetapi tidak dengan jabat tangannya. Tangan lembut Midly masih saja memilih untuk menggenggam stang motornya.
Tanpa mengurangi senyum, Ka Restu menarik kembali tangan yang tidak disambut ramah itu dan mengibaskan ke rambut pendeknya lalu memasukkan kembali ke kantung celana jeansnya. Woow.. he’s so cool.. pikir Nina. Tetapi mungkin tidak bagi Midly. Entahlah, soal pria dan cinta dua orang bersahabat itu tidak pernah sependapat.
“kalian mau pergi kan.. ya sudah segeralah langitnya sudah mendung!” ucap Ka Restu.
Akupun segera naik dan berangkat.
“hati-hati!” dari kejauhan Ka Restu melambaikan tangannya. Hhhh... itulah kalimat terakhir yang mengakhiri ketegangan hari itu.

Tapi walau begitu, Nina sangat mengerti sesungguhnya Midly tertarik dengan Ka Restu. Hanya saja ia masih ragu karena hingga saat ini Midly dilarang keras pacaran oleh orang tuanya, terutama sang ibu. Itulah alasan pertama mengapa setiap kali pacaran Midly selalu backstreet.

***

Setelah menjalani aktivitas seharian, Nina kembali berbaring diatas dipan dikamarnya. Satu-satunya tempat dimana ia bisa menyandarkan lelah dan letih.
Matanya masih belum dapat terpejam. Hingga ia mengambil handphone dari tas dan segera membukanya. Tidak ada satupun pesan atau telepon dari Fajar.
Fajar memang sibuk, dan akan selalu sibuk. Nina hanya memegang teguh kepercayaannya terhadap Fajar. Sekalipun Nina mengetahui Fajar memiliki wanita lain dibelakangnya.

Kepercayaan memang harus dipertahankan. Meski kata menoreh luka, meski hubungan kami hanya menoreh sakit yang mendalam, namun aku harus terus bertahan.

Tubuhnya yang melemah ditambah hatinya yang semakin ragu dan merapuh. Iapun terlelap meninggalkan dan melupakan kegelisahannya pada mimpi indah dimalam hari.

Jikalau laki-laki mengerti, ia tidak akan menyakiti.
Jikalau laki-laki mengasihi, ia tidak akan melukai.

Aku hanyalah bagian dari hari-hari yang telah lalu
Tanpa dirimu
Tanpa binar matamu
Tanpa semangatmu yang kau nyalakan ditungku jiwaku
Tawamu seakan-akan fajar mengetuk didepan pintu
Dibalik gunung-gunung, disisi tebing curam
Lalu menjatuhkan diriku
Lebih dalam dari jurangmu...
  



Menjelang 16 november 2011

Nina masih sibuk mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk sahabatnya. Waktu telah menujukkan pukul 11.23 PM. Sementara Midly telah diperjalanan pulang bersana Gery kakak laki-laki yang terbiasa bertengkar dengannya.
Disisi lain, terlihat ibu Martha sedang menghias kue tart untuk putri bungsunya, yang sebentar lagi menginjak usia sembilan belas tahun.
Ditempat yang sama Ka Restu asyik bersenda gurau bersama ayah Midly sambil menghias seisi rumah. Entah bagaimana, pria itu akhirnya bisa meluluhkan hati kedua orangtua Midly.
Padahal mereka baru 2bulan berpacaran.

1..2..3.. surprise!!!!
Terlihat senyum Midly yang sumringah. Sampai meneteskan airmata. Hingga Ninapun tak mampu membendung airmata bahagianya. Sekaligus terharu.

Malam itu Nina menginap dirumah Midly. Semalaman mereka tidak tidur hanya bercerita dan cerita. Nina juga bertanya soal Ka Restu yang mendadak akrab dengan keluarga sahabatnya.
“Kenapa bisa Mid?” Tanya Nina penasaran.
“Awalnya Aku juga tidak tau Nin, tiba-tiba Ka Restu ada dirumah dan kelihatan sangat akrab dengan Ka Gery”
“Terus.. handphone kamu kan sempat disita ibu, gara-gara ketahuan pacaran? Sekarang kenapa bisa jadi...”
Belum selesai Nina mengajukan pertannyaan, Midly lekas menjawab dengan cekatan.
“Aku hampir mati Nin, di buat Kaget!”
Ninapun tercengang saat mengetahui Ka Restu yang dia kenal konyol, ternyata berwibawa dan bertanggung jawab. Tidak tanggung-tanggung, Ka Restu menelpon Ibu Martha dan meminta ijin memacari putri bungsunya. Diapun berkata “akan bertanggung jawab jika ada yang salah dengan anak ibu, terutama soal nilai-nilai kuliahnya”
Bahkan sampai sekarang Ka Restu sudah seperti asistant Bu Martha.

Suatu ketika, Midly pernah memiliki pacar baru. Dengan kata lain, ia menduakan Ka Restu dengan Rizky seorang teman kuliah Midly.
Ka Restu mengetahui hal itu dari pesan pada handphone Midly. Sementara Midly sendiri tidak mampu melepas salah satu dari mereka.
Entah memiliki jiwa penyabar darimana, Ka Restu memilih untuk mundur dan menasihati Rizky untuk menjaga Midly. Tidak hanya itu Ka Restu juga kerap kali menghubungi Rizky untuk mengetahui kabar Midly.
Rizky yang tak tahan dengan perlakuan itu, memilih untuk melepas Midly dan mengembalikan bahkan MEMBANTU hubungan Ka Restu dengan Midly.

“Beruntungnya anak itu” pikir Nina. Terlintas iri dalam benaknya.
lelaki impian itu seperti Ka Restu. Andai saja... Hatinya berhenti berkata saat Midly dan Fajar melintas dikepalanya.



***

Hubungan persahabatan ataupun percintaan mereka terus berlanjut.  Hingga tiba saat Midly wisuda. Begitupun dengan Fajar. Kembali Nina dibuat bingung harus menghadiri acara wisuda pacar atau sahabatnya?

Dan untuk kesekian kalinya, Nina memilih untuk hadir diacara Fajar terlebih dahulu.
Mulai dari acara keluarga, hingga makan malam berdua. Sampai-sampai Nina lupa hari ini acara wisuda sahabatnya juga.

Mereka memperlakukan Nina bagaimana Layaknya seorang calon menantu atau anggota baru dikeluarga. Ramah-tamah dan tidak lagi canggung.

Saat makan malam bersama Fajar Nina hanya terkaget mendengar segala yang dikatakan kekasihnya.
“Nina, aku minta maaf!” seru Fajar.
“Maaf? Buat apa?” Nina kaget dan penasaran.
“Untuk selalu membuatmu menangis, membuatmu kesal, sedih, aku yang tidak pernah peka pada wanita hebat sepertimu, untuk selalu membuatmu menunggu dan bersabar atas segala tingkahku”
“Fajar..” Nina. bahkan ia bingung harus berkata apa.
“Nina, Aku sudah belajar keras terakhir ini. Aku sudah mendapat pekerjaan disebuah perusahaan swasta dan menduduki jabatan penting disana. Seperti mimpi yang pernah aku katakan padamu dahulu.”
“Fajar.. aku turut bahagia..”
“untuk itu Nina, ijinkan aku menjadi imammu. Dan kapan aku bisa melamarmu?”
Mendadak mulut Nina kaku, ia ta mampu berkata-kata. Begitupun airmata yang tumpah saat itu juga.

Betapa tidak, hal terindah bagi seorang wanita adalah kala seseorang yang ia cintai dan mencintainya.. meminta dirinya untuk menjadi pendamping hidup selamanya.


***

Hampir tengah malam. Nina baru saja hendak tidur. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya sangat keras.
“Midly.. kenapa?” didepan pintu rumah Nina, keadaan Midly berantakan. Kusut, tidak secantik biasanya. Maskaranya beleber karena airmata.
“Ka Restu pergi Nin, melanjutkan kuliah di Berlin. Memutuskan hubungan kami begitu saja dan.. “
“Dan apa?” Nina menatap Midly iba.
“Dan berencana menikah dengan orang lain Nin...” tangis Midly semakin menjadi dalam pelukkan hangat seorang sahabat.


Nina-
betapa aku mengerti bahwa, ada hal yang lebih sakit dari sekedar dikhianati.
Yaitu saat seseorang yang kita cintai tetap bersama kita sementara hatinya ada pada orang lain.



Lelaki impian itu bukan Ka Restu.




 22.48
By : Septi Rizki Wijayanti




Sabtu, 29 Oktober 2011

Bukan Binatang Jalang




Aku suka sastra

Puisi itu indah

Ungkapan rasa  

Dengan cara berbeda

Namun 

Aku bukanlah binatang jalang

Dari kalangan yang terbuang

Aku 

Kuncup yang ingin menjadi bunga

Biji yang ingin menjadi buah

Mawar 

Yang dulu layu ingin kembali berkembang

Merekah 

Meninggalkan prolog 

Masa kini (masa lalu)

Mengikis...lupa sedikit-sedikit

Sebab erosi waktu dan kenangan

Menanam rumput 

Atau ilalang pada lengkungan dijiwa

Mengisi  kekosongan

Dengan iman dan taqwa

Membendung airmata

Dengan syukur

Menghasilkan buah pikiran

lewat tulisan




9.33






Kamis, 27 Oktober 2011

Jilbab



Walau tanpa jilbab, aku ingin mengenalMu
Walau tanpa jilbab, aku ingin mencintaiMu
Walau tanpa jilbab, aku ingin menjadi kekasihMu
Cukup beranikah aku mengatakan itu?
Walau tanpa jilbab



Aku melihat jilbab dipadu kaos ketat kadang legging..

“jilbab”
Faktanya hanyalah utopia
yang mustahil untuk dijangkau, apalagi untuk dinikmati
Walau ada berkah disetiap tetes keringat didalamnya.
Apakah artinya? Riasan tanpa makna?



Tuhan




Aku merasa, dan ini nyata.
Ternyata Tuhan amat menyayangi umatnya.
Dan aku lebih dari sekedar beruntung..
Meski kehendakNya kerap menjebol bendung airmata

Kadang murka
Lalu memalingkan muka dari TetapanNya
Membenci bunga
Mencinta dedurian


Mungkin aku tidak mengenal Syifa, Nova, Hilda, Nina, Wanda, dan semuanya. Terlalu banyak kasih sayangNya. Pun aku tak mampu menyebut seluruhnya-dari sebagian kecil.
Jika kau tidak memperlakukanku seistimewa dulu, membuatku memohon dan mengadu setiap waktu.
Mestinya aku dapat mendengar Tuhan berkata
“kenali dan belajarlah dari mereka!”


Tak apalah.. aku manusia dan aku khilaf..
Yang terpenting sekarang aku mendengar Tuhan berkata bahwa

”segalanya memiliki tujuan. tertawalah dan jalani semuanya. Maju satu dua langkah lagi, aku menunggumu dipersimpangan nanti. Temui dan berdo’a lah lagi”


Kau menyayangi-ku, bahkan lebih dari jika aku memiliki seribu orang-IBU.


 Aku yakin Kau tau, Tuhan.
Aku tidak berbohong kan?

Bukan! ini bukan ilusi
Bukan angan dan gambaran.
Aku sangat bahagia, aku bersyukur..
Untuk memberi kehidupan yang tak “sempurna”
Tanpa blackberry, dan kemewahan lainnya
Tuhan sayang umatnya
 Kau merindukan kami untuk kembali padamu bukan?
Menapaki surga yang telah kau desain khusus untuk umatmu
Seperti teratai yang muncul dari dasar lumpur





21.59-airmata dipipi mengingat aku sering mengkhianatinya



Rabu, 26 Oktober 2011

Teruntuk, HATI


Hati, hari ini kau berisik sekali.
Aku mohon
Untuk kali ini, jangan mendahului..
karena aku takut sakit hati.


21.43-
lagu tidak mampu mengubah sasana hati hari ini

Senin, 24 Oktober 2011

Jadilah Lelaki yang Takkan Menyakiti




Bersama pelangi aku memandangmu dari sini
Dibalik jendela kamar usang
Dibalik tetesan hujan yang melekat
Menggenggam erat harapan tentangmu
Sebuah kedatangan
Pertemuan ...

Tapi ... entahlah,
Apa kau dapat aku andalkan soal hati?
Semoga kau menjawab “ya”
Apapun jawabanmu,
Mengapa aku selalu meragu?

Ragu itu seperti pilihan “YA” dan “TIDAK”
Kadang aku diposisi “YA” kebanyakan “TIDAK”

Jadilah tempat berlindungku setelah Tuhan
Karena aku terlalu lemah untuk kau tandingi
Aku terlalu lelah untuk kau sakiti

Semoga aku dapat bertahan
Meski meragu,
Biarkan aku menanti
Hingga batas usia nanti

Dan
Jadilah Lelaki
Yang takkan menyakiti





Minggu, 23 Oktober 2011

CINTA LUAR BIASA dari LAKI-LAKI YANG BIASA

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi ta k ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya
menarik nafas, mencoba bicara dan..? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!" Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima. "Kenapa?" Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan. "Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. "Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencob a membuka matanya. "Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!" Cukup!, Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur dua puluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu
sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania." Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!" "Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!" "Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!" Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu." Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka
sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania
lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?" Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya..! Tak imbang…!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu
dari waktunya. "Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat key dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu.", "Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!" Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
"Dokter?", "Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.
Terakhir…telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. "Pendarahan hebat."

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya.

Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, "Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak mempedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermandi keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. "Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"

"Nania beruntung!", "Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.", "Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.




  Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
 (Sumber : Sang Pembelajar)